weruh.id - Belakangan Ini, Dunia Usaha Lagi Rame Banget Ngebahas Soal Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Yang Digodok Di DKI Jakarta. Gimana Nggak, Aturan Baru Ini Bikin Bisnis Hotel Dan Restoran Tertekan Karena Pelarangan Rokok Bakal Diperluas Ke Area Yang Selama Ini Jadi “Andalan” Tempat Nongkrong, Makan, Dan Nginep.
Bayangin Aja, Hotel, Kafe, Bar,
Sampai Restoran Bakal Kena Dampaknya Kalau Aturan Ini Beneran Diterapin Tanpa
Kompromi. Padahal, Sektor Ini Tuh Salah Satu Penyumbang Besar Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Dan Penyerap Tenaga Kerja Di Ibu Kota. Banyak Pelaku
Usaha Mulai Was-Was Karena Takut Kebijakan Ini Justru “Mematikan” Bisnis Yang
Lagi Berusaha Bangkit Setelah Pandemi.
Tapi Di Sisi Lain, Pemprov DKI Punya Alasan Kuat: Ngedukung Kesehatan Publik Dan Menciptakan Lingkungan Bebas Asap Rokok. Nah, Konflik Antara Kesehatan Dan Ekonomi Inilah Yang Sekarang Lagi Jadi Topik Panas Di Kalangan Pengusaha, Asosiasi, Dan Pemerintah Daerah. Yuk, Kita Bedah Bareng Biar Makin Paham Konteksnya.
Ruang Lingkup Perluasan Raperda KTR Di Jakarta
Buat Lo Yang Belum Ngikutin, Raperda
KTR Ini Basically Mau Memperluas Area Bebas Rokok Ke Sektor-Sektor Yang
Sebelumnya Nggak Diatur Seketat Itu. Jadi Nanti, Hotel, Restoran, Kafe, Bar,
Sampai Tempat Hiburan Malam Bakal Diwajibin Bikin Ruang Khusus Merokok Tertutup,
Lengkap Dengan Sistem Ventilasi Yang Sesuai Standar.
Masalahnya, Aturan Ini Dianggap
Terlalu “Berat Sebelah”. Banyak Pengusaha Hotel Dan Restoran Yang Bilang Mereka
Bakal Kesulitan Ngatur Ulang Ruangan Atau Menambah Fasilitas Baru Yang Nggak
Murah Biayanya. Bahkan, Menurut Data PHRI, Hampir 50% Hotel Dan Restoran Di Jakarta
Bakal Terdampak Langsung Karena Belum Punya Infrastruktur Yang Siap Buat
Adaptasi.
Kalau Liat Tren Global Sih, Kebijakan Kayak Gini Emang Penting Buat Kesehatan Masyarakat. Tapi Di Level Lokal, Transisi Yang Terlalu Cepat Bisa Nyusahin Pelaku Usaha Yang Masih Berjuang Buat Stabilin Cash Flow Pasca-Pandemi.
Dampak Langsung Ke Bisnis Perhotelan Dan Restoran
Nah, Dampaknya Udah Mulai Kerasa,
Guys. Beberapa Hotel Dan Restoran Ngaku Hunian Dan Kunjungan Mulai Turun
Setelah Wacana Pelarangan Ini Diumumin. Banyak Tamu, Terutama Ekspatriat Dan
Wisatawan, Yang Lebih Milih Tempat Di Luar Jakarta Yang Regulasinya Lebih
Fleksibel.
Selain Itu, Pelaku Usaha Juga Harus
Mikir Ulang Soal Biaya Tambahan. Bayangin Aja, Bikin Ruang Khusus Merokok Aja
Bisa Butuh Biaya Ratusan Juta Buat Renovasi, Belum Lagi Perawatan Dan
Pengawasan. Akhirnya, Mereka Harus Ngencengin Pengeluaran Di Area Lain,
Termasuk Pengurangan Karyawan.
PHRI DKI Jakarta Bahkan Udah Warning Kalau Penerapan Raperda KTR Secara Kaku Bisa Nurunin PAD DKI Jakarta Dari Pajak Hotel Dan Restoran. Jadi Selain Usaha, Pemerintah Juga Bisa Kena Imbas Pendapatan Yang Melorot.
Kekhawatiran Pelaku Usaha & Suara Organisasi
PHRI (Perhimpunan Hotel Dan Restoran
Indonesia) Udah Beberapa Kali Speak Up Soal Ini. Mereka Nggak Anti Aturan, Tapi
Pengen Regulasi Yang Realistis. Kayak Yang Disampaikan Ketua PHRI DKI, “Kami Mendukung
Kesehatan Publik, Tapi Jangan Sampai Kebijakan Ini Justru Nge-Rem Pertumbuhan
Ekonomi.”
Selain PHRI, Apindo (Asosiasi
Pengusaha Indonesia) Juga Nyuarain Kekhawatiran Yang Sama. Mereka Bilang, Timing
Kebijakan Ini Agak Kurang Pas, Soalnya Pelaku Usaha Baru Aja Mulai Recover
Setelah Pandemi. Menurut Mereka, Pemprov DKI Perlu Ngelakuin Dialog Dua Arah
Sebelum Finalisasi Raperda KTR.
Dari Sisi Pemerintah, Beberapa Pejabat DKI Bilang Niatnya Cuma Buat Melindungi Masyarakat Dari Bahaya Asap Rokok. Tapi Ya, PR-Nya Sekarang Gimana Bikin Kebijakan Yang Nggak Bikin Pelaku Usaha “Keok” Duluan.
Tantangan
Implementasi & Regulasi
Masalah Utama Dari Kebijakan Kayak
Gini Tuh Seringnya Bukan Di Niat, Tapi Di Implementasi. Di Lapangan,
Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Sering Nggak Konsisten. Ada Tempat Yang Ditegur,
Ada Juga Yang Lolos Tanpa Sanksi. Kalau Aturan Baru Ini Diterapkan, Sistem
Pengawasannya Harus Lebih Ketat Dan Adil.
Selain Itu, Nggak Semua Tempat Punya
Sumber Daya Buat Memenuhi Standar Ruang Merokok Tertutup. Restoran Kecil Atau
Kafe Indie Pasti Kewalahan, Sementara Jaringan Besar Mungkin Bisa Lebih Gampang
Adaptasi. Nah, Ketimpangan Inilah Yang Bisa Bikin Kebijakan Terasa “Nggak
Adil”.
Belum Lagi Potensi Migrasi Pelanggan Ke Wilayah Sekitar Kayak Bekasi Atau Tangerang Yang Aturannya Lebih Longgar. Jadi, Selain Soal Teknis, Pemerintah Juga Harus Mikirin Efek Kompetisi Regional.
Strategi Adaptasi Bagi Pelaku Usaha
Tapi Bukan Berarti Pelaku Usaha
Nggak Bisa Ngapa-Ngapain, Ya. Justru Sekarang Waktunya Buat Adaptasi Biar Tetap
Bisa Survive. Misalnya:
- Redesain Ruang Dan Layout Restoran Supaya Bisa Nyediain Area Merokok Yang Sesuai Standar
Tanpa Ganggu Pengunjung Lain.
- Diversifikasi Layanan,
Kayak Nambah Entertainment Non-Rokok, Misalnya Live Music Atau Coffee
Pairing.
- Kampanye Edukasi Pelanggan Biar Mereka Ngerti Alasan Di Balik Kebijakan Ini.
Selain Itu, Penting Banget Buat Pelaku Usaha Gabung Dan Aktif Di Asosiasi Kayak PHRI, Supaya Suara Mereka Bisa Nyampe Ke Pemerintah Dengan Lebih Kuat. Kolaborasi Juga Bisa Bantu Cari Solusi Kreatif Bareng, Bukan Saling Menyalahkan.
Implikasi Terhadap Ekonomi Jakarta & PAD
Kalau Sektor Hotel Dan Restoran
Terganggu, Efeknya Nggak Bakal Berhenti Di Situ Aja. Rantai Pasokan Mulai Dari
Supplier Makanan, Laundry, Sampai Penyedia Jasa Event Juga Bisa Kena Imbasnya. Akibatnya,
Roda Ekonomi Kota Bisa Melambat.
PHRI DKI Jakarta Bahkan Bilang
Potensi Penurunan PAD Bisa Signifikan Karena Pajak Hotel Dan Restoran Adalah
Salah Satu Sumber Utama Pemasukan Daerah. Kalau Omzet Turun, Otomatis
Kontribusi Pajaknya Juga Ikut Nyusut.
Dari Sisi Sosial, Penurunan Pendapatan Usaha Bisa Berujung Ke PHK. Sektor Hospitality Yang Notabene Padat Karya Bisa Kehilangan Ribuan Lapangan Kerja Kalau Aturan Ini Diterapkan Tanpa Masa Transisi. Jadi, Ini Bukan Cuma Isu Bisnis, Tapi Juga Kesejahteraan Masyarakat.
Perspektif Kesehatan Vs Kepentingan Ekonomi
Kita Nggak Bisa Munafik, Niat Baik
Di Balik Raperda KTR Ini Emang Keren — Mau Ciptain Ruang Publik Yang Lebih
Sehat Dan Aman Dari Asap Rokok. Tapi Ya, Di Sisi Lain, Kebijakan Kayak Gini
Perlu Dilihat Dari Dua Sisi: Kesehatan Publik Dan Keberlanjutan Bisnis.
Kebijakan Yang Terlalu Keras Bisa Bikin Pelaku Usaha Kehilangan Napas. Tapi Kalau Terlalu Longgar, Tujuan Kesehatannya Juga Nggak Tercapai. Jadi, Solusinya Ada Di Tengah: Bikin Aturan Bertahap Dan Realistis, Sambil Tetap Kasih Insentif Buat Usaha Yang Patuh.
Rekomendasi Kebijakan Agar Nggak “Mematikan” Usaha
Nah, Biar Kebijakan Ini Nggak Jadi
Blunder, Ada Beberapa Langkah Yang Bisa Diambil:
- Libatkan Pelaku Usaha Dalam Proses Perumusan. Dengan Dialog Terbuka, Aturan Bisa Disesuaikan Dengan
Kondisi Real Di Lapangan.
- Berikan Masa Transisi Dan Insentif Buat Usaha Kecil Yang Belum Siap.
- Sosialisasi Dan Edukasi Publik Biar Pelanggan Juga Ngerti Konteksnya, Bukan Cuma
Menyalahkan Pelaku Usaha.
- Evaluasi Berkala.
Pemerintah Harus Siap Revisi Kalau Aturan Ternyata Bikin Efek Negatif
Berlebihan.
Dengan Pendekatan Kolaboratif, Regulasi Kayak Gini Bisa Tetap Jalan Tanpa Ngebunuh Sektor Usaha Yang Justru Berkontribusi Besar Buat Ekonomi Jakarta.
Kesimpulan – Menyeimbangkan Kesehatan Dan Keberlangsungan Bisnis
Intinya, Bisnis Hotel Dan
Restoran Tertekan Bukan Karena Mereka Nggak Peduli Kesehatan, Tapi Karena
Mereka Butuh Waktu Dan Dukungan Buat Beradaptasi. Kebijakan Publik Harus Bisa
Menyeimbangkan Dua Hal Penting: Menjaga Masyarakat Tetap Sehat Dan Memastikan
Ekonomi Tetap Hidup.
Kalau Dua Hal Ini Bisa Jalan Bareng, Jakarta Bukan Cuma Jadi Kota Sehat, Tapi Juga Kota Yang Ramah Buat Pelaku Usaha. Karena Pada Akhirnya, Kebijakan Yang Baik Itu Bukan Yang Bikin Satu Pihak Menang, Tapi Yang Bikin Semua Pihak Bisa Tumbuh Bareng.
0 Komentar